Jakarta | Seperti diketahui, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta Koperasi (UMKMK) cukup mendominasi di Indonesia. Sebanyak 99% dari 57,54 juta pelaku usaha di Indonesia adalah merupakan UMKMK.
Sayangnya dari jumlah yang mayoritas tersebut para pelaku UMKMK masih kesulitan mengakses permodalan. Selama ini, kendati secara feasible layak mendapatkan permodalan, namun para pelaku UMKMK dinilai tidak bankable dan sulit memenuhi persyaratan kredit karena faktor jaminan.
Di sinilah peran Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) dibutuhkan. Ketua Asippindo Diding S. Anwar menyatakan penjaminan sangat membantu mereka yang memiliki usaha produktif layak dan prospektif secara ekonomi (feasible), tapi belum layak kredit (not bankable) atau memiliki kendala dari sisi pemenuhan agunan. Pelaku UMKMK dinilai masih kalah bersaing dengan perusahaan besar dalam memperoleh kredit.
Ketua Asippindo Diding S. Anwar pelaku UMKMK sejauh ini masih kalah bersaing dengan perusahaan besar dalam memperoleh kredit. “Di sini peran anggota Asippindo dalam menjembatani pelaku UMKMK dengan lembaga keuangan,” ujar Diding S. Anwar.
Sebagai asosiasi yang bergerak di bidang penjaminan, Asippindo terus menggaungkan sosialisasi dan pentingnya penjaminan. Definisi penjaminan secara umum adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan apabila terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Di sini Asippindo sebagai asosiasi perusahaan penjaminan memiliki karakter berupa keberpihakan kepada rakyat, mengedepankan kesejahteraan, dan turut mendukung penciptaan lapangan kerja.
Anggota Asippindo sendiri terdiri dari 19 perusahaan yang terdiri dari BUMN, BUMD dan swasta. Dikatakan anggota Asippindo optimis mampu membantu memenuhi penyaluran kredit di sektor UMKMK dengan cara penjaminan dengan kapasitas modal mencapai hingga Rp100 triliun.
Terkait regulasi selama ini penjaminan di atur dalam berbagai aturan sbb: Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan. PMK No. 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. PMK No. 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas PMK No. 222/PMK.010/2008. POJK No. 5/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Lembaga Penjaminan POJK No. 6/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan POJK No. 7/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Lembaga Penjaminan.
Sayangnya UU terkait penjaminan hingga saat ini belum ada. UU dirasakan penting mengingat ranah penjaminan dibutuhkan oleh para pelaku UMKMK agar akses dan keterjangkauan program pemerintah yang berpihak pada rakyat lebih terjamin lagi. Dalam RUU juga diatur tentang kewenangan perusahaan penjaminan dimana penjaminan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan penjaminan.
Karenanya DPR melalui inisiator Fraksi Golkar bersama Asippindo yakin dengan hadirnya UU Penjaminan akan sangat membantu bagi UMKMK untuk memiliki usaha yang produktif dan layak.
Seperti diketahui RUU Penjaminan telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Fraksi Golkar, sebagai inisiator menilai perlunya ada UU Penjaminan menyatakan bahwa Golkar berkomitmen menggolkan RUU Penjaminan dengan target UU Penjaminan akan disahkan tahun ini. Fraksi Golkar menilai kemajuan ekonomi di Indonesia sebenarnya ditentukan UMKMK. Sebab, tenaga kerja yang terserap juga sebagian besar dari sektor ini.
Terkait hal itu Undang-undang Penjaminan dimaksudkan agar Industri penjaminan memiliki level playing field yang seimbang dibandingkan dengan industri lain dan agar Industri penjaminan lebih optimal berperan meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan, mengingat tingkat inklusivitas keuangan Indonesia saat ini hanya sebesar 20%.
Kegiatan penjaminan sangat potensial meningkatkan tingkat inklusivitas, literasi dan edukasi keuangan mengingat melalui kegiatan penjaminan maka masyarakat akan terbantu untuk meningkatkan akses keuangan, kredit dan berhubungan dengan lembaga-lembaga keuangan. (tim)