Jakarta | Tidak hanya melalui mekanisme restrukturisasi, Bank Mandiri juga berkomitmen untuk mengurangi eksposur kredit bermasalah (non performing loans/NPL). Caranya melalui optimalisasi eksekusi agunan baik berupa lelang asse, maupun personal atau corporate guarantee.
Namun komitmen tersebut acapkali terbentur pada beberapa hambatan mendasar. Seperti tumpang tindih regulasi terkait dengan lembaga penjaminan serta lemahnya kepastian hukum lembaga penjaminan. Permasalahan ini bukan hanya sepenuhnya monopoli Bank Mandiri, namun juga menjadi momok bagi pelaku industri perbankan lainnya.
Lembaga penjaminan menjadi solusinya. Lembaga penjaminan memberikan jaminan terhadap debitur maupun pihak ketiga, baik bersifat kebendaan (hipotek, hak tanggungan, fidusia, gadai) maupun nonkebendaan (personal/corporate guarantee) guna menjamin pembayaran kredit apabila debitur wanprestasi terhadap perjanjian kredit. Jika lembaga penjaminan tidak memiliki kepastian hukum, maka kreditur akan terkendala untuk dapat mengeksekusi jaminan dan memperoleh pengembalian (recovery) atas pinjaman yang diberikan.
Mantan Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi mengungkapkan, hambatan-hambatan yang mengganggu perbankan dalam menyelesaikan NPL mendesak untuk diselesaikan dan dicari jalan keluar yang terbaik. Tujuannya gar tingkat pengembalian aset perbankan dapat menurunkan level NPL sekaligus meningkatkan penyalurkan kredit kepada masyarakat dan dunia usaha.
Ada beberapa hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan penyelesaian NPL melalui mekanisme eksekusi jaminan. Misalnya dimasukannya aset yang telah diikat sebagai agunan ke dalam boedel pailit oleh curator dan perbedaan pandangan terkait nilai agunan yang mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP. “Hal lain yang jadi hambatan adalah belum adanya pemahaman yang sama oleh lembaga peradilan terkait dengan eksekusi jaminan fidusia, dan sebagainya,” kata Riswinandi.
Senada dengan Riswinandi, Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung Atja Sondjaja SH menuturkan, sebagai penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit, perbankan menghadapi risiko yang sangat besar akan terjadinya kredit macet. Tingginya tingkat kredit macet akan memengaruhi kinerja dari perbankan itu sendiri. Oleh karena itu, sangat diperlukan instrumen-instrumen hukum yang sekiranya dapat melindungi pengembalian maupun kompensasi dari kredit yang telah disalurkan dalam masyarakat.
Sementara praktisi hukum dan kurator Swandy Halim menjelaskan optimalisasi penyelesaian kredit bermasalah juga tergantung pada kecepatan dalam mengeksekusi aset agunan. Dengan demikian, untuk mendukung tercapainya penyelesaian yang cepat dan optimal, status hukum atas aset agunan juga harus dapat segera dipastikan.
Oleh karena itu, Guru Besar hukum bisnis dan Praktisi Hukum Prof Dr Sutan Remi Syahdeini mengimbau agar perlindungan hukum bagi lembaga penjaminan yang telah diatur dalam ketentuan yang berlaku dapat dihormati dan dimaknai secara utuh sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih regulasi.
Demikian rangkuman pendapat yang muncul dalam sebuah workshop bertajuk “Efektivitas dan kepastian hukum lembaga penjaminan dalam penyelesaian kredit bermasalah” yang diselenggarakan di Auditorium Gedung Plaza Mandiri beberapa waktu lalu. Kegiatan ini dihadiri oleh peserta dari beragam latar belakang seperti perbankan BUMN dan swasta nasional, Kementerian Keuangan, serta pengadilan umum. (tim)
Sumber: kabarbisnis.com