Jakarta | Jamkrindo
Harus diakui mayoritas pelaku usaha mikro kecil menengah dan koperasi (UMKMK) masih kesulitan mengakses permodalan. Kendati memiliki kelayakan usaha, namun banyak pelaku UMKMK dinilai belum bankable oleh perbankan. Pada umumnya mereka kesulitan dalam hal memenuhi persyaratan kredit, misalnya faktor agunan.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM 2014, jumlah pelaku UMKMK dalam klaster pertama yaitu usaha produktif belum layak dan belum layak kredit (unfeasible and unbankable) mencapai 35,49 juta unit usaha. Sedangkan klaster kedua yaitu usaha produktif layak tapi belum layak kredit (feasible but unbankable) berjumlah 15,21 juta unit usaha. Kategori unbankable oleh perbankan membuat banyak pelaku usaha UMKMK belum didekati perbankan karena dinilai memiliki risiko tinggi dalam pengembalian modal.
Menurut Diding S Anwar, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo), lembaga penjaminan menjadi solusi dalam upaya memperluas akses kredit bagi pelaku UMKMK yang jumlahnya sangat besar dan dipandang berisiko oleh perbankan.
“Penjaminan sangat membantu mereka yang memiliki usaha produktif layak dan prospektif secara ekonomi (feasible) tapi belum layak kredit (unbankable) atau memiliki kendala dari sisi pemenuhan agunan,” ujar Diding yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Perum Jamkrindo pada acara Seminar bertema “Penjaminan Kredit Untuk UMKMKK Indonesia Hebat” yang diselenggarakan Asippindo dan Majalah Infobank di Jakarta, 12 Mei 2015.
Asippindo berusaha memperluas akses kredit bagi UMKMK dan Koperasi melalui perannya dengan memberikan jaminan terhadap debitur maupun pihak ketiga, baik bersifat kebendaan (hipotek, hak tanggungan, fidusia, gadai) maupun nonkebendaan (personal/corporate guarantee) guna menjamin pembayaran kredit apabila debitur wanprestasi terhadap perjanjian kredit. Bagi perbankan, peran penjaminan ini sangat penting untuk mendukung pengucuran kredit dengan alokasi secara bertahap hingga minimum 20% pada 2018 sebagaimana oleh regulator.
Dalam seminar yang sama Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI (LMFEUI) Toto Pranoto mengatakan hingga kini jumlah kredit UMKMK yang dijamin oleh perusahaan penjaminan baru sebesar 5%. Padahal peran UMKMK dalam perekonomian Indonesia relatif sangat besar. Dengan kontribusi mencapai 59,08% terhadap PDB.
Di sisi lain, akses finansial UMKMK terhadap perbankan relatif cukup sulit. Saat ini kredit terhadap UMKMK berkisar pada angka 18% dari total kredit. “Seharusnya ini bisa menjadikan peluang bagi perusahaan penjaminan sehingga bisa melahirkan model lembaga penjaminan transnasional,” kata Toto.
Pentingnya UU Penjaminan
Untuk mendorong pelaku UMKMK agar bisa naik kelas, Bank Indonesia (BI) memberlakukan aturan penyaluran kredit UMKMK minimal 20% oleh perbankan secara bertahap hingga 2018. Pada 2015, BI meminta bank dapat menyalurkan kredit UMKMK minimal 5%, kemudian 2016 sebesar 10%, 2017 sebesar 15%, dan 2018 mencapai 20%.
Otoritas Jasa Keuangan menyatakan permintaan kredit dari pengusaha UMKMK ke perbankan terus bertumbuh, dan belum dapat diakomodasi seluruhnya oleh bank. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad bahkan memperkirakan baru sekitar 25 persen dari total permintaan kredit UMKMK yang baru dipenuhi perbankan.
Namun sayangnya, payung hukum atas usaha penjaminan masih belum ada. Perusahaan penjaminan butuh penguatan dalam melaksanakan usahanya sebagai jembatan UMKMK untuk mendapatkan akses perbankan. Meskipun saat ini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015, namun masih sebatas menjadi Rancangan Undang-undang (RUU), belum disahkan menjadi Undang-undang (UU).
Menurut Diding S. Anwar, Indonesia sangat membutuhkan undang-undang yang mampu menjadi payung hukum bagi pengusaha kecil dan menengah. Dengan undang-undang tersebut, pegusaha kecil dan menengah menjadi mempunyai kesempatan untuk mendapat sumber permodalan agar bisa tumbuh dan berkembang lebih besar lagi.
“UU dirasakan penting mengingat ranah penjaminan dibutuhkan oleh para pelaku UMKMKK agar akses dan keterjangkauan program pemerintah yang berpihak pada rakyat lebih terjamin lagi,” ungkap Diding seusai melakukan audiensi dengan DPR RI bulan April kemarin.
Dalam kesempatan itu, Ade Komarudin mengatakan bahwa Undang-undang Penjaminan dimaksudkan agar industri penjaminan memiliki level playing field yang seimbang dibandingkan dengan industri lain. Selain itu, industri penjaminan akan lebih optimal berperan meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan, mengingat tingkat inklusivitas keuangan Indonesia saat ini hanya sebesar 20%.
“Kegiatan penjaminan sangat potensial meningkatkan tingkat inklusivitas, literasi dan edukasi keuangan mengingat melalui kegiatan penjaminan maka masyarakat akan terbantu untuk meningkatkan akses keuangan, kredit dan berhubungan dengan lembaga-lembaga keuangan,” ujar Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI tersebut.
Dengan hadirnya UU Penjaminan, lanjut Ade, nantinya bisa memberikan kejelasan fungsi dan kontribusi dari perusahaan penjaminan, sehingga tidak sampai terjadi overlap bisnis yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dengan menjual istilah “penjaminan”.
“Dalam RUU juga diatur tentang kewenangan perusahaan penjaminan dimana penjaminan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan penjaminan,” ujarnya. Ia yakin dengan hadirnya UU Penjaminan, UMKMK terbantu untuk memiliki usaha yang produktif dan layak, dan mengangkat para pelaku UMKMK agar naik kelas menjadi pengusaha yang besar dan handal sehingga bisa turut serta secara aktif, bukan hanya menjadi penonton dalam MEA nanti. (tim)