MUSIM mudik Lebaran biasa menciptakan kue konsumsi. Sektor jasa, seperti transportasi, perhotelan, restoran, dan peritel, paling menikmati kue arus mudik Lebaran, yang tahun ini pemudik diperkirakan mencapai di atas 12 juta jiwa. Bukan saja usaha besar, para pelaku ekonomi berskala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk pedagang asongan pun ikut kecipratan.
Umpamanya para pedagang makanan dan minuman di sepanjang jalur pantai utara (pantura) maupun jalur selatan lewat Bandung, yang biasa menjaring untung dari para pemudik, baik yang menggunakan bus umum maupun kendaraan pribadi seperti mobil ataupun sepeda motor.
Namun, sebagian kue konsumsi yang tadinya dinikmati pelaku usaha papan bawah, seperti pedagang asongan, tukang satai maranggi, hingga rumah makan di sepanjang jalur mudik sebagian besar berpindah ke restoran, seperti Wendys, Mc Donald, KFC, atau Starbuck, yang menjaring uang pemudik di rest area jalan tol. Itu adalah merek-merek restoran berantai atau waralaba dengan jaringan bisnis yang mendunia. Dengan kata lain, kompetisi di dunia usaha makin terbuka, makin membuat pelaku UMKM berhadapan langsung dengan jaringan bisnis global.
Ini juga dialami banyak pelaku UMKM yang berusaha menerobos pasar untuk menjadi bagian dari mata rantai (supply chain) perusahaan-perusahaan besar. Dengan skala usaha yang terbatas, pelaku UMKM sudah diadang blokade gurita konglomerasi yang mengembangkan vendor system-nya sendiri. Kondisi ini memperlihatkan betapa penguasaan pasar dalam dunia usaha sangat timpang dan jika dibiarkan bertarung bebas, banyak pelaku UMKM tak mampu berkompetisi. Indikator lain dari ketimpangan pasar itu dapat terlihat dalam akses pendanaan. Ketika banyak pengusaha menengah dan besar diperebutkan bank-bank untuk diberi kredit, sebagian besar pelaku UMKM justru sulit mengakses kredit perbankan.
Apabila UMKM kalah cepat dari korporasi besar, itu adalah kehendak pasar. Namun, sudah sewajarnya negara mengambil peran sebagai balancing agent ketika penguasaan ekonomi di masyarakat dan dunia usaha belum merata. Kebijakan pemerintah untuk mendorong pembiayaan kepada sektor UMKM, misalnya dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk membuka akses pembiayaan, sangat positif. Apabila kucuran KUR sebesar Rp120 triliun tahun ini dapat tercapai, ada jutaan pelaku usaha gurem yang mendapatkan dukungan permodalan berbiaya rendah. Dengan skema penjaminan kredit, dalam hal ini fungsi penjaminan adalah menggantikan agunan, industri perbankan juga dapat lebih banyak terlibat dalam pemberdayaan UMKM melalui dukungan pembiayaan yang risikonya diserap oleh industri penjaminan.
Tak dimungkiri, problem UMKM itu tidak hanya di permodalan. Namun, dukungan permodalan akan membantu UMKM untuk mengembangkan usahanya dan meningkatkan skala ekonomi supaya lebih kompetitif di pasar.
Hambatan lain, seperti masalah pengelolaan, perizinan, teknologi informasi, branding, dan akses pasar, tentu juga harus dapat diatasi dengan pendampingan UMKM, seperti pembinaan hingga dukungan pemasaran dan promosi. Karena, melihat banyaknya jumlah UMKM serta kontribusinya yang signifikan terhadap perekonomian, seperti penyediaan lapangan kerja, pemerintah tentu sangat berkepentingan untuk mengembangkan UMKM.
Hal ini pun dilakukan banyak negara lain, mulai dari mengurangi beban administrasi, mengembangkan e-goverment, mendorong awal usaha, kemudahan perizinan, pembiayaan, mendorong inovasi, dan meningkatkan akses pasar.
Kesimpulannya, apabila UMKM kalah bersaing melawan konglomerasi, pilihannya dapat dengan menyinergikan mereka dengan konglomerasi, selain melakukan inovasi untuk menciptakan pasar sendiri. Hal penting lainnya ialah kepedulian masyarakat menerima produk barang dan jasa UMKM. Seringnya, karena dijual oleh UMKM, masyarakat selalu menawar dengan harga paling murah, sementara bila dijual konglomerasi, masyarakat menerima dengan harga berapa pun.
Tentu yang menjadi kunci penting ialah UMKM harus kompetitif dan inovatif di pasar. Selain perlu mendokumentasikan bisnisnya, UMKM perlu memiliki catatan keuangan usaha. Sebab, bisnis ditentukan oleh pasar dan sulit untuk mendorong-didorong perusahaan besar untuk bersinergi dengan UMKM apabila UMKM sendiri belum mampu menghasilkan produk maupun jasa yang kompetitif dan memiliki level pelayanan yang bagus. Untuk itu, UMKM perlu dilatih di semua aspek usaha, terutama dalam menyampaikan catatan keuangannya, agar pihak lain dapat menilai kelayakan mereka untuk mendapatkan permodalan dan berkembang ke tahap selanjutnya. (*)
Penulis adalah Direktur Utama Perum Jamkrindo